Berdasarkan data tahun 1999, luas
hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30
juta hektar di antaranya dalam kondisi rusak (Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi
mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama
di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor
komoditas perikanan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan luas tambak
di Indonesia dari sekitar 225.000 ha pada tahun 1984 (Direktorat Jenderal
Perikanan 1985) menjadi 325.000 ha pada akhir Pelita IV (Cholik dan Poernomo 1986).
Selanjutnya untuk menunjang keberhasilan “Protekan 2003”, pengembangan budi
daya tambak hingga tahun 2002/ 2003 ditargetkan mencapai 212.600 ha untuk
program intensifikasi tambak dan 122.800 ha untuk program ekstensifikasi
tambak, dengan target perolehan devisa US$ 6.778 juta (Nurdjana 1999).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan
mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha (Inoue et
al. 1999) sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto
dan Hanafi 2000). Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah
menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Melimpahnya bahan
organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budi daya udang intensif di
lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen
berubah menjadi betul-betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi.
Selain itu, serangan white spot baculo virus (WSBV) juga meningkat dan
telah menyebabkan kematian udang windu yang dibudidayakan di tambak (Ahmad dan
Mangampa 2000). Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa pada tahun
1990, sekitar 15.000 ha tambak udang mengalami gagal panen akibat serangan
virus. Serangan virus ini semakin meluas hingga tahun 2000 dan menyebabkan
banyak tambak udang gagal panen. Akibatnya produksi udang hasil budi daya terus
menurun hingga tahun 2001, yaitu dari 180.000 metrik ton pada tahun 1995
menjadi 80.000 metrik ton pada tahun 2001 (Sugama 2002). Dampak lainnya adalah
menurunnya keanekaragaman hayati organisme akuatik (Soeriaatmadja 1997).
Sontirat (1989) melaporkan bahwa di kanal Klong Wan, Thailand, sebelum terjadi
kerusakan mangrove terdapat 4 genus kepiting yaitu Uca sp., Sesarma
sp., Metapograpsus sp., dan Scylla serrata serta 72
spesies ikan yang termasuk dalam 6 ordo yaitu Clupeiformes, Cypriniformes,
Belonoformes, Mugiliformes, Perciformes, dan Tetrodontiformes. Setelah mangrove
hilang, ukuran ikan menjadi lebih kecil dan spesiesnya tinggal 34 spesies yang
masuk dalam 5 ordo yaitu Clupeiformes, Cypriniformes, Beloniformes,
Mugiliformes, dan Perciformes. Kondisi demikian pada akhirnya dapat menyebabkan
produksi perikanan pantai menurun (Boyd 1999). Dalam era perdagangan bebas,
persaingan akan semakin ketat terutama mengenai mutu produk. Selain itu, isu
pelestarian sumber daya alam termasuk perikanan dan isu internasional lainnya
juga menjadi penentu dalam dunia perdagangan bebas. Di bidang kehutanan dan
perikanan juga telah didengungkan eco–labelling yang berkaitan
dengan usaha pengelolaan sumber daya alam secara terkendali dan
berkesinambungan. Pencegahan eksploitasi alam yang berlebihan tanpa
memperhitungkan batas toleransinya perlu dicegah, misalnya penangkapan udang
ataupun ikan dengan menggunakan pukat harimau yang dapat menangkap semua jenis
dan ukuran ikan. Sebagai contoh, di perairan Pulau Podang-Podang, Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan, jumlah ikan kerapu yang dapat ditangkap semakin
berkurang akibat banyaknya pukat harimau yang beroperasi (Mansyur, komunikasi
pribadi). Contoh lainnya adalah produksi udang dari budi daya tambak hasil
konversi hutan bakau yang tidak terkendali. Hal semacam itu akan dijadikan
alasan negaranegara maju untuk menolak produk suatu negara masuk ke pasaran
dunia, dengan alasan tidak menerapkan eco-labelling ataupun eco-friendly
dalam sistem produksinya. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut serta untuk
memulihkan kondisi perairan pantai yang telah rusak dan menciptakan ekosistem
pantai yang layak untuk kehidupan ikan, maka perbaikan perairan pantai yang
telah rusak mutlak dilakukan dengan melestarikan mangrove. Kegiatan ini
dapatdilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat pantai sehingga akan tercipta community-based
management, atau masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian
mangrove (Bengen 2000). Kegiatan masyarakat pantai Desa Tongke-Tongke Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan, dalam merehabilitasi kawasan pantai dengan
penghutanan kembali mangrove merupakan salah satu contoh yang diharapkan dapat
dipraktekkan di daerah lainnya. Tulisan ini membahas fungsi mangrove dan
berbagai jenis ikan, udang, kepiting, serta makrobentos yang hidup sekitar
perairan mangrove.
FUNGSI MANGROVE
Mangrove biasanya berada di daerah
muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari
partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu
akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang
subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi
nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi
fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi
tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air
laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah
sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari
makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai
sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan. Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke
perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup
tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah
dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh
makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai
jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk
rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis
juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat
penting maka pemanfaatan mangrove untuk budidaya perikanan harus rasional.
Ahmad dan Mangampa (2000) menyarankan hanya 20% saja dari lahan mangrove yang
dikonversi menjadi pertambakan.
UPAYA PELESTARIAN
MANGROVE
Tanaman mangrove mempunyai fungsi
yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal,
regional, nasional maupun global. Dengan demikian, keberadaan sumber daya
mangrove perlu diatur dan ditata pemanfaatannya secara bertanggung jawab
sehingga kelestariannya dapat dipertahankan. Inoue et al. (1999)
melaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 75 spesies vegetasi mangrove
yang tersebar di 27 propinsi. Selanjutnya Suryati et al. (2001)
melaporkan, beberapa vegetasi mangrove seperti Osbornia octodonta, Exoecaria
agalocha, Acanthus ilicifolius, Avicennia alba, Euphatorium
inulifolium, Carbera manghas, dan Soneratia caseolaris mengandung
zat bioaktif yang dapat dijadikan bahan untuk penanggulangan penyakit
bakteri pada budi daya udang windu. Daerah pantai termasuk mangrove mendapat
tekanan yang tinggi akibat perkembangan infrastuktur, pemukiman, pertanian,
perikanan, dan industri, karena 60% dari penduduk Indonesia bermukim di daerah
pantai. Diperkirakan sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami
kerusakan setiap tahun (Inoue et al. 1999). Melihat fungsi mangrove yang
sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka
upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai
cara. Dalam budi daya udang, misalnya, harus diterapkan teknik
budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan tambak
harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon
air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi
perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat, seperti yang dilakukan oleh masyarakat
Tongke-Tongke, Sulawesi Selatan. Mangrove juga dapat dikembangkan sebagai
daerah wisata seperti yang telah dilakukan di Cilacap (Jawa Tengah), Sukamandi
dan Cikiong, (Jawa Barat). Untuk meningkatkan produktivitas mangrove tanpa
merusak keberadaannya dapat dikembangkan budi daya sistem silvo-fishery misalnya
untuk pematangan atau penggemukan kepiting bakau, pentokolan benur windu,
pendederan nener bandeng, dan pembesaran nila
merah. Di perairan sungai di kawasan
mangrove dapat dijadikan lahan budidaya ikan dengan sistem karamba apung
terutama untuk ikan kakap, kerapu lumpur, nila merah, dan bandeng.
STRATEGI KONSERVASI
Sumberdaya alam yang merupakan
perwujudan dari keserasian ekosistem dan keserasian unsur-unsur pembentuknya
perlu dijaga dan dilestarikan sebagai upaya menjamin keseimbangan dalam rangka
pembangunan manusia seutuhnya yang sejahtera secara berkesinambungan.
Kebijaksaan ini dituangkan dalam strategi konservasi, yaitu :
(a). Perlindungan terhadap sistem
penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi
kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya;
(b). Pengawetan keanekaragaman
sumberdaya plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan
ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia;
(c). Pelestarian pemanfaatan jenis
dan ekosistemnya, yaitu dengan mengatur dan
mengendalikan cara-cara pemanfaatannya,
sehingga mencapai manfaat yang optimal dan berkesimnambungan. Adapun beberapa
tujuan dari konservasi mangrove adalah :
(a). Melestarikan contoh-contoh
perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya.
(b). Melindungi jenis-jenis biota
(dengan habitatnya) yang terancam punah.
(c). Mengelola daerah yang penting
bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi.
(d). Memanfaatkan daerah tersebut untuk
usaha rekreasi, pariwisata,pendidikan dan penelitian.
(e). Sebagai tempat untuk melakukan
pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
(f). Sebagai tempat pembanding bagi
kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya.
Menurut Waryono (1973) bahwa
ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya dapat
dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar
alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa, (c)
kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi jalur hijau
penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan ekosistem
wisata mangrove. Ekosistem mangrove sebagai cagar alam dan suaka margasatwa
berfungsi terutama sebagai pelindung dan pelestari keanekaragaman hayati.
Kriteria kawasan cagar alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, mewakili
formasi biota tertentu dan/atau unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik
biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh
manusia, mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang
efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau mempunyai ciri khas
dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya
memerlukan konservasi. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan yang ditunjuk
merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari satu jenis satwa yang perlu
dilakukan upaya konservasinya, memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi,
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan/atau
mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Ekosistem perlindungan alam, berfungsi terutama sebagai pelindung hidrologi dan
pelindung pantai serta habitat biota pantai. Jalur hijau ekosistem mangrove
adalah ekosistem mangrove yang ditetapkan sebagai jalur hijau di daerah pantai
dan di tepi sungai, dengan lebar tertentu yang diukur dari garis pantai dan
tepi sungai, yang berfungsi mempertahankan tanah pantai dan kelangsungan
biotanya. Oleh karena itu jalur hijau ekosistem mangrove dapat berfungsi
sebagai ekosistem lindung dan atau ekosistem suaka alam.
Video : https://www.youtube.com/watch?v=pNCy4PTfgM8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar